Jumat, 27 Juni 2014

DASAR PEMAKAIAN HISAB DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KOMARIAH

Argumen Muhammadiyah dalam berpegang kepada Hisab seperti yang disampaikan Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. berikut:
Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS. 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi,

tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab, mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi Saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang.kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qardawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijjah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat.
Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.”
Mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab ?
Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah setia mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang menyelaraskan dengan hukum hukum Islam.
Inilah yang dikenal sebagai tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah keumatan khususnya dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal, para ahli hisab Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid telah memberikan pendapatnya kemudian dituangkan dalam surat keputusan pimpinan pusat Muhammadiyah tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari dalil Naqli Al-Qur’an dan As Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.
Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab hakiki wujudul hilalartinya memperhitungkan adanya hilal pada saat matahari terbenam dan dengan dasar Al-Qur’an Surah Yunus ayat 5 di atas dan Hadis Nabi tentang ru’yah riwayat Bukhari. Memahami hadis tersebut secara taabudi atau gairu ma’qul ma’na/tidak dapat dirasionalkan, tidak dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru’yah hanya dengan mata telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan alat alat lainnya, hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan. Apalagi daerah tropis yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan, matahari pun tidak kelihatan sehingga ru’yah mengalami gagal total.
Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta’qul ma’naartinya dapat dirasionalkan maka ru’yah dapat diperluas, dikembangkan melihat bulan tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua sarana alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya. Sebaliknya dengan memahami bahwa hadis ru’yah itu ta’aquli ma’na maka hadis tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul.
Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itu dapat diijtihadi, misalnya berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap up to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan memakai sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan hisab tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar ketentuan pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur’an surah Annisa ayat 59 “Athiullah wa athi’u ar rasul wa ulil amri minkum”. Muhammadiyah tidak melanggar ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan beragama sebab pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal sekian dan bagi umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan keyakinannya, maka dipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi pemerintah sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut. Demikian agar semua menjadi maklum.
Sumber : muhammadiyah.or.id

1 Ramadhan 1435 H berbeda lagi, mengutip catatan kang Dadang yang bagus

HADITS-HADITS TENTANG RU'YAT, ISTIQDAR DAN ISTIKMAL DALAM PENETAPAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN

25 Agustus 2011 pukul 18:42
Oleh: Dadang Syaripudin
Pendahuluan
Pelaksanaan peribadatan dalam Islam, khususnya ibadah mahdhah sudah ditentukan waktu dan tempatnya. Penetapan waktu-waktu tersebut didasarkan atas posisi  bulan atau matahari terlihat dari bumi. Untuk mengawali dan mengakhiri ibadah shaum Ramadhan misalnya, ditetapkan berdarkan posisi bulan terlihat dari bumi. Sedangkan  batas waktu hariannya (imsak – ifthar), ditetapkan berdasarkan posisi matahari terlihat dari bumi, dianalogkan dengan waktu shalat shubuh dan maghrib.
Untuk mengetahui posisi bulan dan matahari tersebut dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah shaum Ramadhan khususnya, dijelaskan dalam sejumlah periwayatan hadits yang beragam baik sanad maupun matannya, serta terkodifikasikan dalam beberapa kitab hadits standard.

  1. `Abdullah ibn 'Umar, r.a. dengan rawi-rawi:
1) Malik ibn Anas (93-179);
2) `Abd al-Razaq(126-211);
3) Muhammad ibn Idris al-Syafi'I (150-204);
4) Ahmad ibn Hanbal (164-267);
5) Abu Bakr ibn Abi Syaybah (159-235);
6) Abu Muhammad al-Darimi (181-255);
7) Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari (194-256);
8) Abu Dawud al-Sijistani (202-275);
9) Muslim ibn al-Hajaj (206-261);
10) Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Ibn Majah (207-275);
11) Abu Ya`la, Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
12) Ahmad ibn Syu`ayb al-Nasa'i (215-303);
13) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
14) Muhammad ibn Hiban (w. 354); 15) Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385);
16) Muhammad ibn `Abd Allah al-Hakim (321-405); dan
17) Ahmad ibn al-Husayn Abu Bakr al-Bayhaqi (384-358).

  1. `Abdullah ibn `Abbas, r.a. dengan rawi-rawi :
1) Malik ibn Anas (93-179);
2) `Abd al-Razaq (126-211);
3) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
4) `Abd Allah ibn al-Zubayr al-Humyadi (W. 219);
5) `Ali ibn al-Ja`d al-Baghdadi (134-230);
6) Aòmad ibn Òanbal (164-267);
7) `Abd Allah ibn `Abd al-Rahman al-Darimi (181-255);
8) Al-Harits ibn Abi Utsamah (186-282);
9) Abu Dawud al-Sijistani (202 – 275);
10) Muslim ibn al-Òajaj al-Naysâbûrî (206-261);
11) Abu Isa al-Turmudzi (209-279);
12) Abu Ya`la Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
13) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa'i (215-303);
14) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
15) Muhammad ibn Hiban (w. 354);
16) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
17) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385);
18) Muhammad ibn `Abd Allah al-Hakim (321-405); dan
19) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).

  1. Abu Hurayrah, r.a.  dengan rawi-rawi:
1) `Abd al-Razaq (126-211);
2) `Ali ibn al-Ja`d al-Baghdadi (134-230);
3) Muhammad ibn Idris al-Syafi'I (150-204);
4) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
5) Ibnu Rahawayh, Ishaq ibn Ibrahim (161-238);
6) Aòmad ibn Òanbal (164-267);
7) Abu Bakr ibn Abi Syaybah (159-235);
8) Abu Muhammad al-Darimi (181-255);
9) Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari (194-256);
10) Muslim ibn al-Òajaj al-Naysâbûrî (206-261);
11) Muhammad ibn Yazid al-Qazwini (207 – 275);
12) Abu Isa al-Turmudzi (209-279);
13) Abu Ya`la Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
14) `Abd Allah ibn `Ali ibn al-Jarud (w.307);
15) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa'i (215-303);
16) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
17) Muhammad ibn Hiban (w. 354);
18) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
19) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
20) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).

  1. `Aisyah r.a., dengan rawi-rawi:
1) Abu Dawud al-Sijistani (202 – 275);
2) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
3) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).

  1. Huzhaifah r.a. dengan rawi-rawi:
1) Abu Dawud al-Sijistani (202 – 275);
2) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
3) Muhammad ibn Hiban (w. 354); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-Bakr al-Bayhaqi (384-458).

  1. Thalaq ibn `Ali, r.a. dengan rawi-rawi:
1) Aòmad ibn Òanbal (164-267);
2) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
3) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-Bakr al-Bayhaqi (384-458).

  1. Jabir ibn `Abd Allah, r.a. dengan rawi:
1) Abu Ya`la Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307); dan
2) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458)

  1. `Umar ibn al-Khathab r.a. dengan rawi:
Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-Bakr al-Bayhaqi (384-458)

  1. Abu Sa`id al-Khudri, r.a. dengan rawi:
Al-Rabi` ibn Habib ibn `Umar al-Azda.

10.  Al-Hasan, r.a. dengan rawi:
`Abd al-Razaq (126-211).

11.  Abu Bakrah, r.a. dengan rawi:
1) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
2) Aòmad ibn Òanbal (164-267); dan
3)Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).

12.   Rafi ibn Khudayj r.a. dengan rawi:
`Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385).

13.  Ash-hab Muhammad Rasulullah saw. dengan rawi-rawi:
1) Al-Harits ibn Abi Utsamah (186-282); dan
2) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa'i (215-303)

Dengan keragaman redaksi matan, sebagai yang terlampir dalam bentuk matrik. Akan tetapi, sesuai dengan kebutuhan (sudah dipandang refresentatif) analisis hanya dilakukan kepada hadits-hadits yang bersanadkan: 1) `Abd Allah ibn `Umar; 2) `Abd Allah ibn `Abbas; dan Abu Hurayrah.

Riwayat bi al-Ma`na atau al-Ziyadah `an al-Rawi; Penafsiran Rawi Al-Hadits

Dengan melihat struktur redaksi yang demikian beragam, mengindikasikan bahwa dalam periwayatan hadits-hadits tersebut terjadi riwayat al-hadits bi al-ma`na. Hal ini berarti, terjadi intervensi subjektivitas rawi.
Dalam hal ini, terjadi dua hal:
  1. struktur redaksi semata, karena adanya perbedaan tarikh mutun al-hadits menyangkut pengalaman dan pengetahuan rawi terhadap hadits yang diriwayatkannya.
  2. menyakut substansi,  karena dipengaruhi oleh faham dan penafsiran (madzhab rawi).

فإن غم عليكم فأكملوا  العدة ثلاثين (الشافعي، البخاري)
Menurut penilaian Ibn `Abd al-Bar, dari hadits-hadits yang bersanadkan `Abd Allah ibn `Umar adalah matan ""فاقدروا له;
والمحفوظ في حديث ابن عمر فاقدروا له (التمهيد: 14\338)

Ulama hadits terpeta dalam 3 kelompok: 1) ada yang menolak riwayat bi al-makna secara mutlak; 2) ada yang menerima secara mutlak; dan 3) ada yang menerima secara bersyarat.
Syarat-syarat yang dimaksud terkait dengan kridibelitas rawi, terutama pengetahuan dan intelektualias rawi.

Ragam Penafsiran terhadap "Faqduru Lahu/Faqdirulah

Secara etimologis, Uqdur berarti "tetapkanlah" seperti dlm hadits istikharah "فاقدره لي ويسره", juga berarti: lihatlah dan pikirkanlah, seperti dalam hadits "فاقدرو قدر الجارية الحديثة السن" dan juga berarti sempitkanlah seperti dalam ayat "فقدر عليه رزقه"

Jumhur  : hadits tersebut bersifat  mujmal "lahu", antara hilal, bulan Sya'ban atau Ramadhan karena itu diperlukan bayan dari hadits lain yang mufassar, yakni hadits-hadits yang mengharuskan dilakukannya istikmal. Sehingga "faqduru lah" berarti istikmal bulan Sya'ban atau Ramadhan.

Ahmad ibn Hanbal: Mempersingkat (menyempitkan) masa bulan Sya'ban, sehingga menjadi 29 hari.

Sebagian Fuqaha Bashrah: Mengamati, meneliti dan menghitung-hitung posisi bulan.

Ibn Syurayj dari Syafi'iyah: Faqduru lahu dan Istikmal memiliki dua sasaran yang berbeda;
Faqduru lahu : untuk orang Khawash dengan melakukan perhitungan posisi bulan dan matahari.
Fa akmilu … : untuk orang `Awwam dengan istikmal bulan Sya'ban menjadi 30 hari

Ibn 'Umar r.a. : Jika hilal tidak terlihat karena mendung pada malam 30 Sya'ban, esok harinya ia berpuasa. Akan tetapi jika hilal tidak terlihat sedangka cuaca cerah, esok harinya belum berpuasa, puasa baru dilakukannya lusa hari (istikmal).

قال نافع فكان عبد الله إذا مضى من شعبان تسع وعشرون يبعث من ينظر فإن رؤى فذاك وإن لم ير ولم يحل دون منظره سحاب ولا قتر أصبح مفطرا وإن حال دون منظره سحاب أو قتر أصبح صائما
  • راوي الحديث يفي المتقدم وعمله به تفسير له
  • عن عائشة أنها قالت : لان أصوم يومأ من شعبان أحب إلي من أن أفطر يوما من رمضان
  • العبرة برأي الراوي لا بروايته لزم الاخذ به كالحنفية

Rukyat atau Istikmal v.s. Hisab Kriteria Wujud al-Hilal

Menurut jumhur fuqaha, sekalipun awal bulan itu dapat diketahui melalui proses perhitungan dan bantuan peralatan teknologi, namun untuk menentukan waktu-waktu peribadatan (puasa dan haji) hanya boleh dengan cara rukyat saja.
Òarf lam dalam matn hadis “èûmû li ru’yatih" adalah “li al-ta‘lîl” sehingga dipahami menjadi berpuasalah kalian “karena” melihat hilal. Keterlihatan hilal menjadi ‘illat (sabab al-hukmi) adanya keharusan berpuasa dan berbuka (‘îd al-fiùri), sebagai yang ditegaskan oleh al-Mubarakfuri[1]
قوله صوموا لرؤيته أي لأجل رؤية الهلال فاللام للتعليل والضمير للهلال على حد تورات بالحجاب اكتفاء بقرينة السياق

Redaksi matan hadits-hadits ru`yat al-hilal, taqdir dan istikmal, dalam perspektef Ushul al-Fiqh (qawaid lughawiyah)  dapat dikelompokkan dalam tiga redaksi matn:
 Pertama,
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته

Huruf “lam” pada kata “li ru’yatih” yang sebenarnya buknlah lam li al-ta‘lîl yang menunjukkan sebab.
Akan tetapi menurut Al-Ùaybi “li al-waqti, li al-tawqît”[2] dan Ibn Daqîq al-‘Id “li al-ta’qît” yang menunjukkan waktu secara majaz;. Sehingga perintah dalam hadis tersebut berarti: berniatlah berpuasa pada saat hilal sudah terlihat atau dengan kata lain berpuasa sesudah hilal terlihat. Sebaliknya, jika lam li al-ta‘lîl maka perintah tersebut lanjut Ibn Daqîq al-‘Id berarti, berpuasa sebelum hilal terlihat[3]. Analisis al-Thaybi atau Ibn Daqiq al-Id tersebut, didukung oleh keberadaan hadits-hadits lain yang menggunakan redaksi matan yang bervariasi dan tidak menggunakan huruf “lam”, sebagai yang sudah disebutkan di atas. Redaksi yang kurang lebih sama, terdapat pula dalam perintah shalat:
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n
Jika hadits-hadits di atas dipahami sebagai perintah (tidak langsung) melihat hilal untuk mengetahui waktu dimulai dan diakhiri berpuasa, maka ayat tersebut pun merupakan perintah untuk melihat matahari untuk mengetahui waktu-waktu shalat.
Dengan demikian, keterlihatan hilal sama sekali tidak menjadi sabab al-hukmi berpuasa atau berlebaran, melainkan hanyalah pertanda waktu saja.
Jika keterlihatan hilal bukan sabab al-hukm, lalu apa yang sesungguhnya yang menjadi sabab yang mengharuskan bepuasa atau berbuka itu? Bukankah setiap perbuatan hokum di samping memiliki syarth al-hukm juga memiliki sabab al-hukm? Jika hadits-hadits tersebut, dipahami secara utuh maka yang menjadi sabab al-hukm adalah keberadaan (wujûd al-hilâl). Pada saat dilakukan istikmâl, hilal tidak terlihat, tetapi berpuasa atau berbuka (hari raya) sudah wajib karena hilal (pertanda bulan baru) sudah dapat dipastikan (diyakini) sudah wujud; sudah terjadi perpindahan bulan, dari bulan Ramadhan ke bulan Syawal. Kepastian itu diperoleh, karena tidak ada tanggal/hari ke-31 pada bulan-bulan Qamariyah, sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya.  Jadi dengan demikian yang menjadi sabab al-hukm adalah wujûd al-hilâl bukan ru’yat al-hilal. Hal ini sejalan dengan pengertian sabab al-hukmi menurut Ushul fiqh,
ما يلزم  من وجوده الوجود ومن عدمه العدم لذاته[5]
atau dalam rumusan yang lebih jelas:
ما يستلزم من وجوده وجود الحكم ومن عدمه عدم الحكم

Sedang untuk dapat mengetahui waktu-waktu itu, saat ini tidak harus dengan ru`yat saja. Ru’yat al-hilal hanyalah salah satu cara untuk mengetahui waktu, bukan substansi atau bagian integral dari ibadah shaum, sama halnya dengan melihat matahari untuk mengetahui waktu-waktu shalat.
Kedua,
إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
Keterlihatan hilal sebagai yang disebut dalam matan hadits di atas, bukanlah syarth al-hukm (syarat wajib berpuasa atau berbuka), sekalipun diawali dengan kata “idza”. Karena kelanjutan dari matan hadits tersebut menjelaskan sekalipun hilal tidak terlihat,  manakala bulan sudah 30 hari menjadi wajib berpuasa atau berbuka. Jika keterlihatan hilal itu menjadi syarat, niscaya ketika tidak terlihat tidak ada kewajiban berpuasa atau berbuka, sebagai yang ditegaskan al-Qarafi bahwa yang disebut syarat itu,
بأن الشرط يلزم من عدمه العدم ولا يلزم من وجوده وجود ولا عدم لذاته
atau dalam rumusannya yang sederhana:
مالا يستلزم من وجوده وجود الحكم و يستلزم من عدمه عدم الحكم

Ketiga,
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدد العدة ثلاثين
Dengan matan hadits ini pun, tidak dapat dipahami sebaliknya (dalalah mafhum mukhalafah) karena ada kata “hatta”  (mafhum ghayah); manakala hilal belum terlihat menjadi tidak wajib berpuasa dan berbuka. Karena pemahaman sebaliknya bertentangan dengan penjelasan dari  kelanjutan matan tersebut yang secara langsung dan tegas  menunjukkan (dalalah manthuq) sekalipun tidak terlihat manakala bilangan bulan sudah tiga puluh (hasil istikmal), tidak bisa tidak kecuali harus berpuasa atau berbuka.
Mengingat keterlihatan hilal itu bukan sebab dan juga bukan syarat keharusan berbuka dan berpuasa, tetapi yang menjadi sebab itu adalah keberadaan hilal (wujud al-hilal), maka kriteria hisab pun tidak harus “dianalogkan” dengan ru`yatul hilal dengan menetapkan kriteria imkan al-rukyat. Itulah sebabnya, kriteria hisab yang diambil oleh Muhammadiyah adalah kriteria wujûd al-hilâl.



[1] Muhammad ‘Abd al-Raòmân ibn ‘Abd al-Raòîm al-Mubarakfuri. Tuòfaú al-Aòwaíi bi Šarò Jâmi‘ al-Turmuíî. (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah. t.th.) (10 Juz).

[2] ‘Abd al-Rauf al-Manawi. Fayæ al-Qadîr Šarò al-Jâmi‘ al-Èagîr. (Mièr: Al-Maktabaú al-Tijâriyaú al-Kubra. 1356). Cetakan Pertama. (6 Juz). Juz IV. hlm. 214.

[3]Lihat Taqiy al-Dîn Abû al-Fatò ibn Daqîq al-‘Îd, Iòkâm al-Aòkâm Šarò ‘Umdaú al-Aòkâm, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyaú, t.th.) Juz ii, hlm. 205-207; Muhammad ibn ‘Ali al-Šawkânî, Nayl al-Awùâr Šarò Muntaqâ al-Aóbar, (Bayrût: Dâr al-Jayl. 1973), Juz IV, hlm. 264, 351.

[4] Q.S. al-Isra [17]: 78. uraian dan penjelaannya lihat: Tafsîr al-Bayæawî, Juz III/hlm. 80; Juz III/hlm. 462; juz V/hlm 348. Tafsîr Abî Su‘ûd, Juz V/hlm: 189; Tafsîr Rûò al-Ma‘ânî, Juz IIi/hlm 131; Juz XV/hlm 132.

[5] Lihat: `Abd Allah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi. Rawdhah al-Nadhir. Al-Riyadh: Jami`ah al-Imam Muhammad ibn Su`ud.1399. Cetakan Kedua. Hlm. 57. C.f. `Ali ibn `Abd al-Kafi al-Subki. Al-Ibhaj. Bayrut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah.1404. Cet. Pertama. Juz I. Hlm. 206.

Rabu, 04 Juni 2014

WISUDA SMA IT AL KAHFI

Tanggal 1 Juni 2014 lalu, Alhamdulillah Ilham telah menyelesaikan pendidikan di SMA IT Al Kahfi Cigombong Srogol Bogor.  6 tahun lamanya selepas SD, Ilham bermukim di sana. Dengan catatan yang tidak pendek tentunya. Sebelum melakukan UAN kemarin, Alhamdulillah Ilham sudah diterima di Telkom University lewat jalur undangan. Meski demikian Ilham masih ingin mengikuti ujian SBMPTN dan SIMAK UI. Semoga harapan dan cita-cita nya melanjutkan kuliah sesuai pilihannya bisa terwujud. Amien.