Argumen Muhammadiyah dalam berpegang kepada Hisab seperti yang disampaikan Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. berikut:
Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan
hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut
perhitungan” (QS. 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa
matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat
dihitung atau diprediksi,
tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya.
Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab, mengapa
Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa
Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat
(beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi Saw
adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan
melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat
Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami
tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah
demikian-demikian. Yakni kadang.kadang dua puluh sembilan hari dan
kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku
menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi
sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah
rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka
perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qardawi menyebut bahwa
rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad
Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang
salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan
Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana
tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam
tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke
depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum
menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai
sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di
kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang
terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan
Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda
memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena
rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada
hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi
lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60
derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak
normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya
atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi
kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim
panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa
diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak
mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih
dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan
Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang,
ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu
tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas
pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang
saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat
semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa
Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di
kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di
kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda
satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya,
hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat
melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan
hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk
bulan Zulhijjah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di
ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat
memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena
itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara
selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan
pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang
muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan
rukyat.
Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al
Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko
dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at
Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah
menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di
kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan
penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti
halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.”
Mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab ?
Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah setia
mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang
menyelaraskan dengan hukum hukum Islam.
Inilah yang dikenal sebagai tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah
keumatan khususnya dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal, para
ahli hisab Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid
telah memberikan pendapatnya kemudian dituangkan dalam surat keputusan
pimpinan pusat Muhammadiyah tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari dalil Naqli
Al-Qur’an dan As Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut
dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.
Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab
hakiki wujudul hilalartinya memperhitungkan adanya hilal pada saat
matahari terbenam dan dengan dasar Al-Qur’an Surah Yunus ayat 5 di atas
dan Hadis Nabi tentang ru’yah riwayat Bukhari. Memahami hadis tersebut
secara taabudi atau gairu ma’qul ma’na/tidak dapat dirasionalkan, tidak
dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru’yah hanya dengan mata
telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan alat alat lainnya,
hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan. Apalagi daerah tropis
yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan,
matahari pun tidak kelihatan sehingga ru’yah mengalami gagal total.
Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta’qul ma’naartinya dapat
dirasionalkan maka ru’yah dapat diperluas, dikembangkan melihat bulan
tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua sarana
alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya. Sebaliknya
dengan memahami bahwa hadis ru’yah itu ta’aquli ma’na maka hadis
tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan
sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti
shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan
karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul.
Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itu dapat diijtihadi, misalnya
berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi
kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai
dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap
up to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan memakai
sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan hisab
tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar ketentuan
pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur’an surah Annisa ayat 59
“Athiullah wa athi’u ar rasul wa ulil amri minkum”. Muhammadiyah tidak
melanggar ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan beragama sebab
pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal sekian dan bagi
umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan keyakinannya,
maka dipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi pemerintah
sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut. Demikian
agar semua menjadi maklum.
Sumber : muhammadiyah.or.id
CURAHAN HATI...., PELAPAS RINDU AKAN PENAT....... MELEPAS KANGEN DARI KEINGINAN MENULIS CERITA BERSAMBUNG
Jumat, 27 Juni 2014
1 Ramadhan 1435 H berbeda lagi, mengutip catatan kang Dadang yang bagus
HADITS-HADITS TENTANG RU'YAT, ISTIQDAR DAN ISTIKMAL DALAM PENETAPAN AWAL DAN AKHIR RAMADHAN
25 Agustus 2011 pukul 18:42
Oleh: Dadang Syaripudin
Pendahuluan
Pelaksanaan peribadatan dalam Islam, khususnya ibadah mahdhah sudah ditentukan waktu dan tempatnya. Penetapan waktu-waktu tersebut didasarkan atas posisi bulan atau matahari terlihat dari bumi. Untuk mengawali dan mengakhiri ibadah shaum Ramadhan misalnya, ditetapkan berdarkan posisi bulan terlihat dari bumi. Sedangkan batas waktu hariannya (imsak – ifthar), ditetapkan berdasarkan posisi matahari terlihat dari bumi, dianalogkan dengan waktu shalat shubuh dan maghrib.
Untuk mengetahui posisi bulan dan matahari tersebut dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah shaum Ramadhan khususnya, dijelaskan dalam sejumlah periwayatan hadits yang beragam baik sanad maupun matannya, serta terkodifikasikan dalam beberapa kitab hadits standard.
2) `Abd al-Razaq(126-211);
3) Muhammad ibn Idris al-Syafi'I (150-204);
4) Ahmad ibn Hanbal (164-267);
5) Abu Bakr ibn Abi Syaybah (159-235);
6) Abu Muhammad al-Darimi (181-255);
7) Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari (194-256);
8) Abu Dawud al-Sijistani (202-275);
9) Muslim ibn al-Hajaj (206-261);
10) Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Ibn Majah (207-275);
11) Abu Ya`la, Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
12) Ahmad ibn Syu`ayb al-Nasa'i (215-303);
13) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
14) Muhammad ibn Hiban (w. 354); 15) Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385);
16) Muhammad ibn `Abd Allah al-Hakim (321-405); dan
17) Ahmad ibn al-Husayn Abu Bakr al-Bayhaqi (384-358).
2) `Abd al-Razaq (126-211);
3) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
4) `Abd Allah ibn al-Zubayr al-Humyadi (W. 219);
5) `Ali ibn al-Ja`d al-Baghdadi (134-230);
6) Aòmad ibn Òanbal (164-267);
7) `Abd Allah ibn `Abd al-Rahman al-Darimi (181-255);
8) Al-Harits ibn Abi Utsamah (186-282);
9) Abu Dawud al-Sijistani (202 – 275);
10) Muslim ibn al-Òajaj al-Naysâbûrî (206-261);
11) Abu Isa al-Turmudzi (209-279);
12) Abu Ya`la Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
13) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa'i (215-303);
14) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
15) Muhammad ibn Hiban (w. 354);
16) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
17) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385);
18) Muhammad ibn `Abd Allah al-Hakim (321-405); dan
19) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).
2) `Ali ibn al-Ja`d al-Baghdadi (134-230);
3) Muhammad ibn Idris al-Syafi'I (150-204);
4) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
5) Ibnu Rahawayh, Ishaq ibn Ibrahim (161-238);
6) Aòmad ibn Òanbal (164-267);
7) Abu Bakr ibn Abi Syaybah (159-235);
8) Abu Muhammad al-Darimi (181-255);
9) Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari (194-256);
10) Muslim ibn al-Òajaj al-Naysâbûrî (206-261);
11) Muhammad ibn Yazid al-Qazwini (207 – 275);
12) Abu Isa al-Turmudzi (209-279);
13) Abu Ya`la Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
14) `Abd Allah ibn `Ali ibn al-Jarud (w.307);
15) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa'i (215-303);
16) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
17) Muhammad ibn Hiban (w. 354);
18) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
19) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
20) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).
2) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
3) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).
2) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
3) Muhammad ibn Hiban (w. 354); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-Bakr al-Bayhaqi (384-458).
2) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
3) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-Bakr al-Bayhaqi (384-458).
2) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458)
10. Al-Hasan, r.a. dengan rawi:
`Abd al-Razaq (126-211).
11. Abu Bakrah, r.a. dengan rawi:
1) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
2) Aòmad ibn Òanbal (164-267); dan
3)Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).
12. Rafi ibn Khudayj r.a. dengan rawi:
`Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385).
13. Ash-hab Muhammad Rasulullah saw. dengan rawi-rawi:
1) Al-Harits ibn Abi Utsamah (186-282); dan
2) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa'i (215-303)
Dengan keragaman redaksi matan, sebagai yang terlampir dalam bentuk matrik. Akan tetapi, sesuai dengan kebutuhan (sudah dipandang refresentatif) analisis hanya dilakukan kepada hadits-hadits yang bersanadkan: 1) `Abd Allah ibn `Umar; 2) `Abd Allah ibn `Abbas; dan Abu Hurayrah.
Riwayat bi al-Ma`na atau al-Ziyadah `an al-Rawi; Penafsiran Rawi Al-Hadits
Dengan melihat struktur redaksi yang demikian beragam, mengindikasikan bahwa dalam periwayatan hadits-hadits tersebut terjadi riwayat al-hadits bi al-ma`na. Hal ini berarti, terjadi intervensi subjektivitas rawi.
Dalam hal ini, terjadi dua hal:
Ulama hadits terpeta dalam 3 kelompok: 1) ada yang menolak riwayat bi al-makna secara mutlak; 2) ada yang menerima secara mutlak; dan 3) ada yang menerima secara bersyarat.
Syarat-syarat yang dimaksud terkait dengan kridibelitas rawi, terutama pengetahuan dan intelektualias rawi.
Ragam Penafsiran terhadap "Faqduru Lahu/Faqdirulah
Secara etimologis, Uqdur berarti "tetapkanlah" seperti dlm hadits istikharah "فاقدره لي ويسره", juga berarti: lihatlah dan pikirkanlah, seperti dalam hadits "فاقدرو قدر الجارية الحديثة السن" dan juga berarti sempitkanlah seperti dalam ayat "فقدر عليه رزقه"
Jumhur : hadits tersebut bersifat mujmal "lahu", antara hilal, bulan Sya'ban atau Ramadhan karena itu diperlukan bayan dari hadits lain yang mufassar, yakni hadits-hadits yang mengharuskan dilakukannya istikmal. Sehingga "faqduru lah" berarti istikmal bulan Sya'ban atau Ramadhan.
Ahmad ibn Hanbal: Mempersingkat (menyempitkan) masa bulan Sya'ban, sehingga menjadi 29 hari.
Sebagian Fuqaha Bashrah: Mengamati, meneliti dan menghitung-hitung posisi bulan.
Ibn Syurayj dari Syafi'iyah: Faqduru lahu dan Istikmal memiliki dua sasaran yang berbeda;
Faqduru lahu : untuk orang Khawash dengan melakukan perhitungan posisi bulan dan matahari.
Fa akmilu … : untuk orang `Awwam dengan istikmal bulan Sya'ban menjadi 30 hari
Ibn 'Umar r.a. : Jika hilal tidak terlihat karena mendung pada malam 30 Sya'ban, esok harinya ia berpuasa. Akan tetapi jika hilal tidak terlihat sedangka cuaca cerah, esok harinya belum berpuasa, puasa baru dilakukannya lusa hari (istikmal).
Rukyat atau Istikmal v.s. Hisab Kriteria Wujud al-Hilal
Menurut jumhur fuqaha, sekalipun awal bulan itu dapat diketahui melalui proses perhitungan dan bantuan peralatan teknologi, namun untuk menentukan waktu-waktu peribadatan (puasa dan haji) hanya boleh dengan cara rukyat saja.
Òarf lam dalam matn hadis “èûmû li ru’yatih" adalah “li al-ta‘lîl” sehingga dipahami menjadi berpuasalah kalian “karena” melihat hilal. Keterlihatan hilal menjadi ‘illat (sabab al-hukmi) adanya keharusan berpuasa dan berbuka (‘îd al-fiùri), sebagai yang ditegaskan oleh al-Mubarakfuri[1]
Redaksi matan hadits-hadits ru`yat al-hilal, taqdir dan istikmal, dalam perspektef Ushul al-Fiqh (qawaid lughawiyah) dapat dikelompokkan dalam tiga redaksi matn:
Pertama,
Huruf “lam” pada kata “li ru’yatih” yang sebenarnya buknlah lam li al-ta‘lîl yang menunjukkan sebab.
Akan tetapi menurut Al-Ùaybi “li al-waqti, li al-tawqît”[2] dan Ibn Daqîq al-‘Id “li al-ta’qît” yang menunjukkan waktu secara majaz;. Sehingga perintah dalam hadis tersebut berarti: berniatlah berpuasa pada saat hilal sudah terlihat atau dengan kata lain berpuasa sesudah hilal terlihat. Sebaliknya, jika lam li al-ta‘lîl maka perintah tersebut lanjut Ibn Daqîq al-‘Id berarti, berpuasa sebelum hilal terlihat[3]. Analisis al-Thaybi atau Ibn Daqiq al-Id tersebut, didukung oleh keberadaan hadits-hadits lain yang menggunakan redaksi matan yang bervariasi dan tidak menggunakan huruf “lam”, sebagai yang sudah disebutkan di atas. Redaksi yang kurang lebih sama, terdapat pula dalam perintah shalat:
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n
Jika hadits-hadits di atas dipahami sebagai perintah (tidak langsung) melihat hilal untuk mengetahui waktu dimulai dan diakhiri berpuasa, maka ayat tersebut pun merupakan perintah untuk melihat matahari untuk mengetahui waktu-waktu shalat.
Dengan demikian, keterlihatan hilal sama sekali tidak menjadi sabab al-hukmi berpuasa atau berlebaran, melainkan hanyalah pertanda waktu saja.
Jika keterlihatan hilal bukan sabab al-hukm, lalu apa yang sesungguhnya yang menjadi sabab yang mengharuskan bepuasa atau berbuka itu? Bukankah setiap perbuatan hokum di samping memiliki syarth al-hukm juga memiliki sabab al-hukm? Jika hadits-hadits tersebut, dipahami secara utuh maka yang menjadi sabab al-hukm adalah keberadaan (wujûd al-hilâl). Pada saat dilakukan istikmâl, hilal tidak terlihat, tetapi berpuasa atau berbuka (hari raya) sudah wajib karena hilal (pertanda bulan baru) sudah dapat dipastikan (diyakini) sudah wujud; sudah terjadi perpindahan bulan, dari bulan Ramadhan ke bulan Syawal. Kepastian itu diperoleh, karena tidak ada tanggal/hari ke-31 pada bulan-bulan Qamariyah, sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Jadi dengan demikian yang menjadi sabab al-hukm adalah wujûd al-hilâl bukan ru’yat al-hilal. Hal ini sejalan dengan pengertian sabab al-hukmi menurut Ushul fiqh,
Sedang untuk dapat mengetahui waktu-waktu itu, saat ini tidak harus dengan ru`yat saja. Ru’yat al-hilal hanyalah salah satu cara untuk mengetahui waktu, bukan substansi atau bagian integral dari ibadah shaum, sama halnya dengan melihat matahari untuk mengetahui waktu-waktu shalat.
Kedua,
Ketiga,
Mengingat keterlihatan hilal itu bukan sebab dan juga bukan syarat keharusan berbuka dan berpuasa, tetapi yang menjadi sebab itu adalah keberadaan hilal (wujud al-hilal), maka kriteria hisab pun tidak harus “dianalogkan” dengan ru`yatul hilal dengan menetapkan kriteria imkan al-rukyat. Itulah sebabnya, kriteria hisab yang diambil oleh Muhammadiyah adalah kriteria wujûd al-hilâl.
[1] Muhammad ‘Abd al-Raòmân ibn ‘Abd al-Raòîm al-Mubarakfuri. Tuòfaú al-Aòwaíi bi Šarò Jâmi‘ al-Turmuíî. (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah. t.th.) (10 Juz).
[2] ‘Abd al-Rauf al-Manawi. Fayæ al-Qadîr Šarò al-Jâmi‘ al-Èagîr. (Mièr: Al-Maktabaú al-Tijâriyaú al-Kubra. 1356). Cetakan Pertama. (6 Juz). Juz IV. hlm. 214.
[3]Lihat Taqiy al-Dîn Abû al-Fatò ibn Daqîq al-‘Îd, Iòkâm al-Aòkâm Šarò ‘Umdaú al-Aòkâm, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyaú, t.th.) Juz ii, hlm. 205-207; Muhammad ibn ‘Ali al-Šawkânî, Nayl al-Awùâr Šarò Muntaqâ al-Aóbar, (Bayrût: Dâr al-Jayl. 1973), Juz IV, hlm. 264, 351.
[4] Q.S. al-Isra [17]: 78. uraian dan penjelaannya lihat: Tafsîr al-Bayæawî, Juz III/hlm. 80; Juz III/hlm. 462; juz V/hlm 348. Tafsîr Abî Su‘ûd, Juz V/hlm: 189; Tafsîr Rûò al-Ma‘ânî, Juz IIi/hlm 131; Juz XV/hlm 132.
[5] Lihat: `Abd Allah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi. Rawdhah al-Nadhir. Al-Riyadh: Jami`ah al-Imam Muhammad ibn Su`ud.1399. Cetakan Kedua. Hlm. 57. C.f. `Ali ibn `Abd al-Kafi al-Subki. Al-Ibhaj. Bayrut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah.1404. Cet. Pertama. Juz I. Hlm. 206.
Pendahuluan
Pelaksanaan peribadatan dalam Islam, khususnya ibadah mahdhah sudah ditentukan waktu dan tempatnya. Penetapan waktu-waktu tersebut didasarkan atas posisi bulan atau matahari terlihat dari bumi. Untuk mengawali dan mengakhiri ibadah shaum Ramadhan misalnya, ditetapkan berdarkan posisi bulan terlihat dari bumi. Sedangkan batas waktu hariannya (imsak – ifthar), ditetapkan berdasarkan posisi matahari terlihat dari bumi, dianalogkan dengan waktu shalat shubuh dan maghrib.
Untuk mengetahui posisi bulan dan matahari tersebut dalam kaitannya dengan pelaksanaan ibadah shaum Ramadhan khususnya, dijelaskan dalam sejumlah periwayatan hadits yang beragam baik sanad maupun matannya, serta terkodifikasikan dalam beberapa kitab hadits standard.
- `Abdullah ibn 'Umar, r.a. dengan rawi-rawi:
2) `Abd al-Razaq(126-211);
3) Muhammad ibn Idris al-Syafi'I (150-204);
4) Ahmad ibn Hanbal (164-267);
5) Abu Bakr ibn Abi Syaybah (159-235);
6) Abu Muhammad al-Darimi (181-255);
7) Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari (194-256);
8) Abu Dawud al-Sijistani (202-275);
9) Muslim ibn al-Hajaj (206-261);
10) Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Ibn Majah (207-275);
11) Abu Ya`la, Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
12) Ahmad ibn Syu`ayb al-Nasa'i (215-303);
13) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
14) Muhammad ibn Hiban (w. 354); 15) Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385);
16) Muhammad ibn `Abd Allah al-Hakim (321-405); dan
17) Ahmad ibn al-Husayn Abu Bakr al-Bayhaqi (384-358).
- `Abdullah ibn `Abbas, r.a. dengan rawi-rawi :
2) `Abd al-Razaq (126-211);
3) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
4) `Abd Allah ibn al-Zubayr al-Humyadi (W. 219);
5) `Ali ibn al-Ja`d al-Baghdadi (134-230);
6) Aòmad ibn Òanbal (164-267);
7) `Abd Allah ibn `Abd al-Rahman al-Darimi (181-255);
8) Al-Harits ibn Abi Utsamah (186-282);
9) Abu Dawud al-Sijistani (202 – 275);
10) Muslim ibn al-Òajaj al-Naysâbûrî (206-261);
11) Abu Isa al-Turmudzi (209-279);
12) Abu Ya`la Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
13) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa'i (215-303);
14) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
15) Muhammad ibn Hiban (w. 354);
16) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
17) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385);
18) Muhammad ibn `Abd Allah al-Hakim (321-405); dan
19) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).
- Abu Hurayrah, r.a. dengan rawi-rawi:
2) `Ali ibn al-Ja`d al-Baghdadi (134-230);
3) Muhammad ibn Idris al-Syafi'I (150-204);
4) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
5) Ibnu Rahawayh, Ishaq ibn Ibrahim (161-238);
6) Aòmad ibn Òanbal (164-267);
7) Abu Bakr ibn Abi Syaybah (159-235);
8) Abu Muhammad al-Darimi (181-255);
9) Muhammad ibn Isma`il al-Bukhari (194-256);
10) Muslim ibn al-Òajaj al-Naysâbûrî (206-261);
11) Muhammad ibn Yazid al-Qazwini (207 – 275);
12) Abu Isa al-Turmudzi (209-279);
13) Abu Ya`la Ahmad ibn Ali ibn al-Mutsanna (210-307);
14) `Abd Allah ibn `Ali ibn al-Jarud (w.307);
15) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa'i (215-303);
16) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
17) Muhammad ibn Hiban (w. 354);
18) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
19) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
20) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).
- `Aisyah r.a., dengan rawi-rawi:
2) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
3) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).
- Huzhaifah r.a. dengan rawi-rawi:
2) Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaymah (223-311);
3) Muhammad ibn Hiban (w. 354); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-Bakr al-Bayhaqi (384-458).
- Thalaq ibn `Ali, r.a. dengan rawi-rawi:
2) Sulayman ibn Ahmad Al-Thabrani (260-360);
3) `Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385); dan
4) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-Bakr al-Bayhaqi (384-458).
- Jabir ibn `Abd Allah, r.a. dengan rawi:
2) Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458)
- `Umar ibn al-Khathab r.a. dengan rawi:
- Abu Sa`id al-Khudri, r.a. dengan rawi:
10. Al-Hasan, r.a. dengan rawi:
`Abd al-Razaq (126-211).
11. Abu Bakrah, r.a. dengan rawi:
1) Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204);
2) Aòmad ibn Òanbal (164-267); dan
3)Ahmad ibn al-Husayn, Abu al-bakr al-Bayhaqi (384-458).
12. Rafi ibn Khudayj r.a. dengan rawi:
`Ali ibn `Umar al-Daruquthni (306-385).
13. Ash-hab Muhammad Rasulullah saw. dengan rawi-rawi:
1) Al-Harits ibn Abi Utsamah (186-282); dan
2) Ahmad ibn Syuayb al-Nasa'i (215-303)
Dengan keragaman redaksi matan, sebagai yang terlampir dalam bentuk matrik. Akan tetapi, sesuai dengan kebutuhan (sudah dipandang refresentatif) analisis hanya dilakukan kepada hadits-hadits yang bersanadkan: 1) `Abd Allah ibn `Umar; 2) `Abd Allah ibn `Abbas; dan Abu Hurayrah.
Riwayat bi al-Ma`na atau al-Ziyadah `an al-Rawi; Penafsiran Rawi Al-Hadits
Dengan melihat struktur redaksi yang demikian beragam, mengindikasikan bahwa dalam periwayatan hadits-hadits tersebut terjadi riwayat al-hadits bi al-ma`na. Hal ini berarti, terjadi intervensi subjektivitas rawi.
Dalam hal ini, terjadi dua hal:
- struktur redaksi semata, karena adanya perbedaan tarikh mutun al-hadits menyangkut pengalaman dan pengetahuan rawi terhadap hadits yang diriwayatkannya.
- menyakut substansi, karena dipengaruhi oleh faham dan penafsiran (madzhab rawi).
فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين (الشافعي، البخاري)
Menurut penilaian Ibn `Abd al-Bar, dari hadits-hadits yang bersanadkan `Abd Allah ibn `Umar adalah matan ""فاقدروا له;
والمحفوظ في حديث ابن عمر فاقدروا له (التمهيد: 14\338)
Ulama hadits terpeta dalam 3 kelompok: 1) ada yang menolak riwayat bi al-makna secara mutlak; 2) ada yang menerima secara mutlak; dan 3) ada yang menerima secara bersyarat.
Syarat-syarat yang dimaksud terkait dengan kridibelitas rawi, terutama pengetahuan dan intelektualias rawi.
Ragam Penafsiran terhadap "Faqduru Lahu/Faqdirulah
Secara etimologis, Uqdur berarti "tetapkanlah" seperti dlm hadits istikharah "فاقدره لي ويسره", juga berarti: lihatlah dan pikirkanlah, seperti dalam hadits "فاقدرو قدر الجارية الحديثة السن" dan juga berarti sempitkanlah seperti dalam ayat "فقدر عليه رزقه"
Jumhur : hadits tersebut bersifat mujmal "lahu", antara hilal, bulan Sya'ban atau Ramadhan karena itu diperlukan bayan dari hadits lain yang mufassar, yakni hadits-hadits yang mengharuskan dilakukannya istikmal. Sehingga "faqduru lah" berarti istikmal bulan Sya'ban atau Ramadhan.
Ahmad ibn Hanbal: Mempersingkat (menyempitkan) masa bulan Sya'ban, sehingga menjadi 29 hari.
Sebagian Fuqaha Bashrah: Mengamati, meneliti dan menghitung-hitung posisi bulan.
Ibn Syurayj dari Syafi'iyah: Faqduru lahu dan Istikmal memiliki dua sasaran yang berbeda;
Faqduru lahu : untuk orang Khawash dengan melakukan perhitungan posisi bulan dan matahari.
Fa akmilu … : untuk orang `Awwam dengan istikmal bulan Sya'ban menjadi 30 hari
Ibn 'Umar r.a. : Jika hilal tidak terlihat karena mendung pada malam 30 Sya'ban, esok harinya ia berpuasa. Akan tetapi jika hilal tidak terlihat sedangka cuaca cerah, esok harinya belum berpuasa, puasa baru dilakukannya lusa hari (istikmal).
قال
نافع فكان عبد الله إذا مضى من شعبان تسع وعشرون يبعث من ينظر فإن رؤى
فذاك وإن لم ير ولم يحل دون منظره سحاب ولا قتر أصبح مفطرا وإن حال دون
منظره سحاب أو قتر أصبح صائما
- راوي الحديث يفي المتقدم وعمله به تفسير له
- عن عائشة أنها قالت : لان أصوم يومأ من شعبان أحب إلي من أن أفطر يوما من رمضان
- العبرة برأي الراوي لا بروايته لزم الاخذ به كالحنفية
Rukyat atau Istikmal v.s. Hisab Kriteria Wujud al-Hilal
Menurut jumhur fuqaha, sekalipun awal bulan itu dapat diketahui melalui proses perhitungan dan bantuan peralatan teknologi, namun untuk menentukan waktu-waktu peribadatan (puasa dan haji) hanya boleh dengan cara rukyat saja.
Òarf lam dalam matn hadis “èûmû li ru’yatih" adalah “li al-ta‘lîl” sehingga dipahami menjadi berpuasalah kalian “karena” melihat hilal. Keterlihatan hilal menjadi ‘illat (sabab al-hukmi) adanya keharusan berpuasa dan berbuka (‘îd al-fiùri), sebagai yang ditegaskan oleh al-Mubarakfuri[1]
قوله صوموا لرؤيته أي لأجل رؤية الهلال فاللام للتعليل والضمير للهلال على حد تورات بالحجاب اكتفاء بقرينة السياق
Redaksi matan hadits-hadits ru`yat al-hilal, taqdir dan istikmal, dalam perspektef Ushul al-Fiqh (qawaid lughawiyah) dapat dikelompokkan dalam tiga redaksi matn:
Pertama,
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Huruf “lam” pada kata “li ru’yatih” yang sebenarnya buknlah lam li al-ta‘lîl yang menunjukkan sebab.
Akan tetapi menurut Al-Ùaybi “li al-waqti, li al-tawqît”[2] dan Ibn Daqîq al-‘Id “li al-ta’qît” yang menunjukkan waktu secara majaz;. Sehingga perintah dalam hadis tersebut berarti: berniatlah berpuasa pada saat hilal sudah terlihat atau dengan kata lain berpuasa sesudah hilal terlihat. Sebaliknya, jika lam li al-ta‘lîl maka perintah tersebut lanjut Ibn Daqîq al-‘Id berarti, berpuasa sebelum hilal terlihat[3]. Analisis al-Thaybi atau Ibn Daqiq al-Id tersebut, didukung oleh keberadaan hadits-hadits lain yang menggunakan redaksi matan yang bervariasi dan tidak menggunakan huruf “lam”, sebagai yang sudah disebutkan di atas. Redaksi yang kurang lebih sama, terdapat pula dalam perintah shalat:
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n
Jika hadits-hadits di atas dipahami sebagai perintah (tidak langsung) melihat hilal untuk mengetahui waktu dimulai dan diakhiri berpuasa, maka ayat tersebut pun merupakan perintah untuk melihat matahari untuk mengetahui waktu-waktu shalat.
Dengan demikian, keterlihatan hilal sama sekali tidak menjadi sabab al-hukmi berpuasa atau berlebaran, melainkan hanyalah pertanda waktu saja.
Jika keterlihatan hilal bukan sabab al-hukm, lalu apa yang sesungguhnya yang menjadi sabab yang mengharuskan bepuasa atau berbuka itu? Bukankah setiap perbuatan hokum di samping memiliki syarth al-hukm juga memiliki sabab al-hukm? Jika hadits-hadits tersebut, dipahami secara utuh maka yang menjadi sabab al-hukm adalah keberadaan (wujûd al-hilâl). Pada saat dilakukan istikmâl, hilal tidak terlihat, tetapi berpuasa atau berbuka (hari raya) sudah wajib karena hilal (pertanda bulan baru) sudah dapat dipastikan (diyakini) sudah wujud; sudah terjadi perpindahan bulan, dari bulan Ramadhan ke bulan Syawal. Kepastian itu diperoleh, karena tidak ada tanggal/hari ke-31 pada bulan-bulan Qamariyah, sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Jadi dengan demikian yang menjadi sabab al-hukm adalah wujûd al-hilâl bukan ru’yat al-hilal. Hal ini sejalan dengan pengertian sabab al-hukmi menurut Ushul fiqh,
ما يلزم من وجوده الوجود ومن عدمه العدم لذاته[5]
atau dalam rumusan yang lebih jelas:
ما يستلزم من وجوده وجود الحكم ومن عدمه عدم الحكم
Sedang untuk dapat mengetahui waktu-waktu itu, saat ini tidak harus dengan ru`yat saja. Ru’yat al-hilal hanyalah salah satu cara untuk mengetahui waktu, bukan substansi atau bagian integral dari ibadah shaum, sama halnya dengan melihat matahari untuk mengetahui waktu-waktu shalat.
Kedua,
إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
Keterlihatan hilal sebagai yang disebut dalam matan hadits di atas, bukanlah syarth al-hukm (syarat wajib berpuasa atau berbuka), sekalipun diawali dengan kata “idza”.
Karena kelanjutan dari matan hadits tersebut menjelaskan sekalipun
hilal tidak terlihat, manakala bulan sudah 30 hari menjadi wajib
berpuasa atau berbuka. Jika keterlihatan hilal itu menjadi syarat,
niscaya ketika tidak terlihat tidak ada kewajiban berpuasa atau berbuka,
sebagai yang ditegaskan al-Qarafi bahwa yang disebut syarat itu,
بأن الشرط يلزم من عدمه العدم ولا يلزم من وجوده وجود ولا عدم لذاته
atau dalam rumusannya yang sederhana:
مالا يستلزم من وجوده وجود الحكم و يستلزم من عدمه عدم الحكم
Ketiga,
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدد العدة ثلاثين
Dengan matan hadits ini pun, tidak dapat dipahami sebaliknya (dalalah mafhum mukhalafah) karena ada kata “hatta” (mafhum ghayah);
manakala hilal belum terlihat menjadi tidak wajib berpuasa dan berbuka.
Karena pemahaman sebaliknya bertentangan dengan penjelasan dari
kelanjutan matan tersebut yang secara langsung dan tegas menunjukkan (dalalah manthuq) sekalipun tidak terlihat manakala bilangan bulan sudah tiga puluh (hasil istikmal), tidak bisa tidak kecuali harus berpuasa atau berbuka.Mengingat keterlihatan hilal itu bukan sebab dan juga bukan syarat keharusan berbuka dan berpuasa, tetapi yang menjadi sebab itu adalah keberadaan hilal (wujud al-hilal), maka kriteria hisab pun tidak harus “dianalogkan” dengan ru`yatul hilal dengan menetapkan kriteria imkan al-rukyat. Itulah sebabnya, kriteria hisab yang diambil oleh Muhammadiyah adalah kriteria wujûd al-hilâl.
[1] Muhammad ‘Abd al-Raòmân ibn ‘Abd al-Raòîm al-Mubarakfuri. Tuòfaú al-Aòwaíi bi Šarò Jâmi‘ al-Turmuíî. (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah. t.th.) (10 Juz).
[2] ‘Abd al-Rauf al-Manawi. Fayæ al-Qadîr Šarò al-Jâmi‘ al-Èagîr. (Mièr: Al-Maktabaú al-Tijâriyaú al-Kubra. 1356). Cetakan Pertama. (6 Juz). Juz IV. hlm. 214.
[3]Lihat Taqiy al-Dîn Abû al-Fatò ibn Daqîq al-‘Îd, Iòkâm al-Aòkâm Šarò ‘Umdaú al-Aòkâm, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyaú, t.th.) Juz ii, hlm. 205-207; Muhammad ibn ‘Ali al-Šawkânî, Nayl al-Awùâr Šarò Muntaqâ al-Aóbar, (Bayrût: Dâr al-Jayl. 1973), Juz IV, hlm. 264, 351.
[4] Q.S. al-Isra [17]: 78. uraian dan penjelaannya lihat: Tafsîr al-Bayæawî, Juz III/hlm. 80; Juz III/hlm. 462; juz V/hlm 348. Tafsîr Abî Su‘ûd, Juz V/hlm: 189; Tafsîr Rûò al-Ma‘ânî, Juz IIi/hlm 131; Juz XV/hlm 132.
[5] Lihat: `Abd Allah ibn Ahmad ibn Qudamah al-Maqdisi. Rawdhah al-Nadhir. Al-Riyadh: Jami`ah al-Imam Muhammad ibn Su`ud.1399. Cetakan Kedua. Hlm. 57. C.f. `Ali ibn `Abd al-Kafi al-Subki. Al-Ibhaj. Bayrut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah.1404. Cet. Pertama. Juz I. Hlm. 206.
Rabu, 04 Juni 2014
WISUDA SMA IT AL KAHFI
Tanggal 1 Juni 2014 lalu, Alhamdulillah Ilham telah menyelesaikan pendidikan di SMA IT Al Kahfi Cigombong Srogol Bogor. 6 tahun lamanya selepas SD, Ilham bermukim di sana. Dengan catatan yang tidak pendek tentunya. Sebelum melakukan UAN kemarin, Alhamdulillah Ilham sudah diterima di Telkom University lewat jalur undangan. Meski demikian Ilham masih ingin mengikuti ujian SBMPTN dan SIMAK UI. Semoga harapan dan cita-cita nya melanjutkan kuliah sesuai pilihannya bisa terwujud. Amien.
Langganan:
Komentar (Atom)






