Argumen Muhammadiyah dalam berpegang kepada Hisab seperti yang disampaikan Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A. berikut:
Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan
hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut
perhitungan” (QS. 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa
matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat
dihitung atau diprediksi,
tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya.
Dalam QS. Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab, mengapa
Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa
Az-Zarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat
(beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi Saw
adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan
melakukan hisab. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat
Al Bukhari dan Muslim, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami
tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah
demikian-demikian. Yakni kadang.kadang dua puluh sembilan hari dan
kadang-kadang tiga puluh hari”. Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku
menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi
sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah
rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli hisab), maka
perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qardawi menyebut bahwa
rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad
Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang
salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan
Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana
tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam
tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke
depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum
menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai
sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di
kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang
terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan
Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda
memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena
rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada
hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi
lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60
derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak
normal, dimana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya
atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi
kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim
panas melebihi 24 jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa
diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak
mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih
dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan
Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang,
ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu
tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas
pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang
saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat
semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa
Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di
kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di
kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda
satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya,
hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat
melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan
hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk
bulan Zulhijjah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di
ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa rukyat tidak dapat
memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena
itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara
selaras di seluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan
pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang
muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan
rukyat.
Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al
Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko
dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at
Tausyiyah) menyebutkan: “Masalah penggunaan hisab: para peserta telah
menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariah di
kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan
penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariah, seperti
halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.”
Mengapa Muhammadiyah memakai sistem hisab ?
Prinsip yang selalu dianut oleh persyarikatan Muhammadiyah adalah setia
mengikuti perkembangan zaman kemajuan sains dan teknologi yang
menyelaraskan dengan hukum hukum Islam.
Inilah yang dikenal sebagai tarjih dan pemikiran. Apalagi masalah
keumatan khususnya dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal, para
ahli hisab Muhammadiyah yang tergabung dalam Majelis Tarjih dan Tajdid
telah memberikan pendapatnya kemudian dituangkan dalam surat keputusan
pimpinan pusat Muhammadiyah tentang penetapan awal Ramadhan dan Syawal.
Hukum yang ditetapkan Muhammadiyah harus berangkat dari dalil Naqli
Al-Qur’an dan As Sunah Shahihah dan dari acuan pokok tersebut
dikembangkan berdasarkan kaedah Ushul Fiqh.
Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan menggunakan sistem hisab
hakiki wujudul hilalartinya memperhitungkan adanya hilal pada saat
matahari terbenam dan dengan dasar Al-Qur’an Surah Yunus ayat 5 di atas
dan Hadis Nabi tentang ru’yah riwayat Bukhari. Memahami hadis tersebut
secara taabudi atau gairu ma’qul ma’na/tidak dapat dirasionalkan, tidak
dapat diperluas dan dikembangkan sehingga ru’yah hanya dengan mata
telanjang tidak boleh pakai kacamata dan teropong dan alat alat lainnya,
hal ini terasa kaku dan sulit direalisasikan. Apalagi daerah tropis
yang selalu berawan ketika sore menjelang magrib, jangankan bulan,
matahari pun tidak kelihatan sehingga ru’yah mengalami gagal total.
Hadis tersebut kalau diartikan dengan Ta’qul ma’naartinya dapat
dirasionalkan maka ru’yah dapat diperluas, dikembangkan melihat bulan
tidak terbatas hanya dengan mata telanjang tetapi termasuk semua sarana
alat ilmu pengetahuan, astronomi, hisab dan sebagainya. Sebaliknya
dengan memahami bahwa hadis ru’yah itu ta’aquli ma’na maka hadis
tersebut akan terjaga dan terjamin relevansinya sampai hari ini, bahkan
sampai akhir zaman nanti. Berlainan dengan masalah ibadahnya seperti
shalat hari raya, itu tidak dapat dirasionalkan apalagi dikompromikan
karena ketentuan tersebut sudah baku dari sunnah Rasul.
Tetapi kalau menuju ke arah ibadah itu dapat diijtihadi, misalnya
berangkat haji ke Mekkah silahkan dengan transportasi yang modern tetapi
kalau dalam pelaksanaan hajinya sudah termasuk ibadah harus sesuai
dengan sunnah Rasul. Dengan pemahaman semacam ini hukum Islam akan tetap
up to date dan selalu tampil untuk menjawab tantangan zaman.
Dengan demikian maka Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan memakai
sistem hisab berdasarkan wujudul hilal. Andaikata ketentuan hisab
tersebut berbeda dengan pengumuman pemerintah apakah melanggar ketentuan
pemerintah? atau dengan melanggar Al-qur’an surah Annisa ayat 59
“Athiullah wa athi’u ar rasul wa ulil amri minkum”. Muhammadiyah tidak
melanggar ketentuan pemerintah dalam soal ketaatan beragama sebab
pemerintah membuat pengumuman bahwa hari raya tanggal sekian dan bagi
umat Islam yang merayakan hari raya berbeda berdasarkan keyakinannya,
maka dipersilahkan dengan sama-sama menghormatinya. Jadi pemerintah
sendiri sudah menyadari dan mengakomodir perbedaan tersebut. Demikian
agar semua menjadi maklum.
Sumber : muhammadiyah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar