Rabu, 30 Mei 2012

Mengenang Bapak (1)

Bapak Dikala Muda, Sesudah menikah dengan ibu
Foto Bapak berdua dengan Ibu
Resepsi Pernikahan Bapak Dan Ibu
Konon Wajahku mirip dengan Bapak. Sering kali kalau berjumpa dengan kawan bapak saat muda, mereka menjulukiku begitu. Moersidi Muda



Bagiku Bapak H. Moersidi HM, adalah seorang lelaki yang memiliki multi talenta. Bisa jadi jika Bapak hadir kembali sebagai pemuda saat ini, tentulah akan jadi idola bagi para gadis. Menurut cerita Ibu (Almh) dan teman-teman dekat yang mengetahui riwayat perjalanan bapak ( karena bapak orangnya tidak pernah cerita siapa dia sebenarnya kepada anak-anaknya), beliau adalah :
1. Pemain Musik.
2. Pemain Drama.
3. Pelukis.
4. Penulis / jurnalis.
5. Organisatoris 
6. Mubaligh
7. Olahragawan
8. Konseptor

Pengantar  Umum
Bapak Lahir di Semarang, tanggal 26 Oktober 1936,
Sekolah di SMA-C Semarang ( SMA 3 Semarang saat ini, satu alumni denganku ternyata) , dan pernah kuliah di Fakultas Hukum Undip, tidak selesai.
Menikah dengan Ibu di tahun 1962 dan dikaruniai 6 orang anak yakni:
1. Cahyati Dyah Pratami lahir di Solo tahun 1963.
2. Suci Mulyani, lahir di Solo tahun 1965
3. Dudung Abdul Muslim ( Di Surat Lahir tertulis Yustisi Ardhi Muslim) , Lahir di Semarang tahun 1966.
4. Hidayat Wahyudi, lahir di Semarang 1969.
5. Achmad Fauzi, lahir di Semarang tahun 1972
6. Moch. Achid Nugroho lahir di Semarang tahun 1973.
          Kata orang tua dulu, bapak menikah itu dengan status Joko tuwo. Alias perjaka tua. he...he...he.......Maka tak heran jika bapak dulu ikut bergabung di dalam band Perjaka Tua. Yang nanti akan saya ceritakan di dalam kisah Bapak sebagai Pemain musik. Selidik punya selidik, mengapa bapak menikah tua, ada sepenggal kisah putus cinta ternyata. Katanya sich bapak dulu pernah menjalin persahabatan dengan seorang gadis dari Sunda, namun karena tidak disetujui oleh Mbah Kaji Munawar putri, maka hubungan itupun tidak berlanjut ke jenjang selanjutnya. Itulah mengapa nama-nama anak bapak sering ditafsirkan sebagai orang dari sunda. Seperti mamik, cicik, dudung, dan diriku sendiri.
              Bapak menikah juga karena sebuah kebetulan, dan karena di jodohkan . Waktu itu kebetulan Mbah Munawar putri sedang njagong di tempat mbah KH. Karim di Kalioso Solo. Mereka masih bersaudara. Putranya mbah karim. Muktasom Tejokusumo menikah dengan Hikmah Ilahiyah . Putrinya Kyai Nukman dari Banjarnegara.  Hikmah Ilahiyah adalah adek kandungnya ibu. Sambil njagong manten,, mbah Munawar putri iseng-iseng bertanya ke Mbah Karim. "Mantumu iku bocah ngendi ? tanya simbah. " Priyayi banjarnegara mbak." jawab mbah Karim
" Ayu temen mantumu," kata simbah ( Amah Hikmah memang mudanya terlihat manis dan cantik).
"Isih ono tunggale opo ora ? (masih ada Saudaranya yang lain nggak ?) " . lanjut simbah ke Mbah Karim.
" Ooo....tasih mbak ( Masih ada, kakaknya mbak )" timpal Mbah Karim.
Akhirnya dari perbincangan itulah , dengan perantaraan Mbah Karim. Mbah Munawar putri pun meminang ibu kepada Mbah Nukman, untuk dijodohkan dengan Bapak.
           Pada jaman itu, pernikahan Bapak dan ibu termasuk meriah, apalagi diiringi oleh penampilan Grup band Joko Tuwo, dimana bapak menjadi anggotanya. Konon setiap pelepasan anggota band joko tuwo, yang melangsungkan pernikahan, pasti akan disambut dengan penampilan band tersebut.
          Setelah menikah dengan Ibu, Bapak tinggal di Solo menumpang di rumah Simbah di Keprabon Wetan Solo. Bapak juga ikut membantu simbah berjualan kain batik di Pasar Klewer Solo (bener nggak ya ?? agak lupa kalau yang ini).  Pasca terjadinya kisruh Politik PKI, bapak pindah ke Semarang tepatnya di kampung Pungkuran Kauman Semarang. Sedangkan Simbah, terkadang tinggal di Jalan Jonegaran Depok Semarang. Hanya berselang dua gang dari pungkuran kalau tidak salah. Saat ini Pungkuran lebih di kenal sebagai jalan terusan yang dari NDepok , KH. Wahid Hasyim ke Kanjengan Mesjid Besar Kauman.
        Di Pungkuran ini, bapak lebih dikenal sebagai Pak RW. Maklum, bapak adalah Ketua RW di Pungkuran yang wilayahnya kalau nggak salah sampai di Jalan Besar KH. Wachid Hasyim/Kranggan. Dimana kranggan banyak dihuni oleh WNI keturunan China yang banyak berjualan Emas. Makanya nama Bapak sangat di kenal di Pungkuran Kauman. Bahkan meski kami sudah tidak tinggal di Pungkuran lagi, ketika dulu Ibu atau Mbak Mamik, membeli emas di Kranggan dekat Pungkuran, pasti akan dikasih harga agak miring, alias harga pertemanan......he...he...he.... Kami menempati rumah di Pungkuran hanya sampai tahun 1977 akhir tahun. Artinya mulai dari Mas Dudung , aku, Ozi dan Achid, lahir di rumah ini. Setelah itu karena rumah yang di Pungkuran terkena pelebaran jalan sampai empat meteran, hasil gusuran dan penjualan rumah Pungkuran, dibelikan rumah di Poncowolo Timur II/396 Bulu Lor Semarang, sampai sekarang.
           Bapak memang terkesan orangnya pendiam, tidak banyak bicara, meski dengan anaknya sendiri sekalipun. Termasuk aku. Meski demikian, kesan mendalam atas bapak masih saja lekat dalam ingatan, meski itu kejadiannya adalah saat aku masih kanak-kanak.
          Watak Bapak sangat keras dalam mendidik anak-anaknya, apalagi jika menyinggung masalah agama. Sangat keras dan disiplin.Maka jika sudah waktunya masuk Shalat, kita melambatkannya maka tak ayal cambuk pun melayang ke badan kita. Yang paling terasa adalah diriku sendiri meski saat itu masih kelas TK besar kami sudah diajarkan untuk puasa penuh. seperti orang dewasa. Yang kuingat saat itu hanya bolong 6 hari. selebihnya puasa penuh. Menginjak kelas 1 SD saya sudah puasa penuh tanpa bolong. Alhamdulillah.
             Seingatku Bapak dulu pernah berjualan kain batik Solo di pasar Johar Semarang, dan Jual beli serta servis radio/tape recorder. Meski bapak penghasilannya tidak begitu besar, namun anak-anak bapak tidak ada yang disekolahkan di sekolah negeri, yang dulu masih di sebut SD Inpres. Bapak tetap mendaftarkan kami di sekolah Ibtidaiyah. Taman kanak-kanaknya di TK Aisyiah dan SD nya di Badan Wakaf Sultan Agung Kauman dan SD Muhammadiyah Indraprasta Semarang.  Yang tentu saja biayanya pasti lebih tinggi di banding di sekolah negeri. Barulah setelah SMP dan seterusnya hanya aku dan Mas Dudung yang sekolah di negeri. Yang Lainnya tetap di SMP Muhammadiyah. Sedemikian ketatnya bapak mengarahkan kami, dengan pertimbangan, mengahadapi masa depan diperlukan pondasi agam yang kokoh bagai karang. Dan itu memang terbukti saat kami sudah menginjak dewasa, dan mempunyai keuturunan.
           Aku pun menyekolahkan anak-anak di sekolah yang berbasis agama kuat, dengan harapan di masa yang akan datang, dengan pondasi agama yang kokoh, kelak anak-anak sudah bisa membentengi dirinya, dari godaan duniawi.
            Mengapa saya menyebut bapak keras ? masih lekat dalam ingatanku saat kelas 1 SD di Badan Wakaf Sultan Agung kauman. Setiap habis maghrib, kami membaca turutan  a ba ta, setelah itu dilanjut dengan belajar membaca huruf . Bacaan dulu, seperti Ini Budi,.....Ini Bapak Budi....Ini Ibu Budi.....Ini Kakak Budi....Ini adek Budi....dan seterusnya. Jika ada yang salah dalam setiap bacaan, maka jari-jari tanganku akan terkena sabetan rotan kecil. Meski tidak begitu sakit, tapi ya....lumayanlah.....untuk anak sekecil itu. Saking lamanya kepala ini menunduk, untuk membaca dari a...ba...ta....sampai membaca huruf latin, leher kecil ini jadi terasa pegal. Tapi Bapak tidak menghiraukan kelelahanku, sampai lembar-demi lembar yang dimaksud bapak selesai kubaca.
            Sementara bapak mengajarku, ibu menyimak kakak-kakak yang lain membaca Al-Qur'an (tadarus), ibu membetulkan bacaan yang kurang tepat, dan memberitahu kesalahannya. Sementara adikku yang masih balita, ikut bersama ibu. Demikian terus setiap habis maghrib. Selepas Isya', barulah kami menikmati makan malam yang sudah disajikan oleh ibu, dengan menu yang sangat sederhana.

Kisah ini akan saya ceritakan secara bersambung disesuaikan dengan keadaan dan waktu yang tersedia nantinya.

Tidak ada komentar: